Ayah Terhebat Sedunia

ayah dan putri 2

Sejak kecil aku adalah anak penakut dan cengeng. Saat beranjak dewasa, sifat penakutku mulai luntur digantikan oleh sifat pembangkang, ditempa oleh lingkungan yang keras.

Yang paling direpotkan oleh sifat-sifat burukku sejak dulu adalah orang-orang di sekitarku. Saat aku mulai masuk SD, setiap hari ayahku yang menjadi korban, karena aku hanya mau ke sekolah jika ayah yang mengantar.

Hari pertama masuk sekolah aku mengamuk tak mau ditinggal pergi. Ayah tak mungkin ikut duduk menungguiku di dalam kelas, maka dia terpaksa berdiri menunggu di luar.

Ibu guruku memberi kebijaksanaan dengan memperbolehkan orang tua melongok di balik jendela. Jadilah ayahku seperti lukisan pahlawan di dinding, dengan bingkai jendela.

Wajah ayah terbingkai dengan indah di samping lukisan Pangeran Diponegoro. Dan harus seperti itu, wajah ayah tak boleh bergeser dan menghilang dari jendela. Bila aku menengok dan ayah tak ada, maka bisa dipastikan seluruh kelas tak bisa belajar, karena aku akan menangis meraung-raung memanggil ayah.

Situasi tak menguntungkan itu terus berlangsung hingga dua minggu bersekolah. Bu Kus, ibu guruku yang bijaksana, sudah berusaha membujukku hingga hilang akal. Aku akan menangis hingga mengompol jika wajah ayahku tak nampak di jendela. Bu Kus nampak senewen saat melihat ingus dan ompolku berlomba saling mendahului. Teman-temanku hanya tertawa terkikik-kikik dan menirukan bunyi sirene ambulans.

Pernah ayah tak tahan ingin pipis dan memutuskan kabur ke kamar mandi saat aku sedang menatap papan tulis. Aku shock setengah mati saat wajah ayah tak nampak di samping lukisan Pangeran Diponegoro. Aku mengamuk dan berlari hendak membuka pintu kelas.

Saat pintu tak bisa kubuka, aku menendangnya sekuat tenaga. Aku berteriak histeris memanggil ayah, hingga bergema ke seantero sekolah (sejak itu suaraku jadi tersohor, saat kelas lima SD aku dijadikan komandan upacara perempuan yang pertama di sekolahku).

Ayah yang sedang kencing pun mendengar teriakan putus asaku dan berlari ke arah pos jaganya semula di depan jendela. Saking terburu-burunya menarik ritsleting celana, sosis ayah nyaris terlindas dan celaka.

Sejak itu ayah kapok dan berusaha agar aku bisa ditinggal saat jam pelajaran. Gara-gara menungguiku, beliau selalu kesiangan sampai ke tempat kerjanya. Beliau juga sudah risih menjadi bahan rumpian dan towelan ibu teman-temanku yang kesengsem dengan wajah tampannya.

Ayah berusaha memberi pengertian agar aku lebih mandiri dan tidak cengeng. Beliau terus membujuk dan berjanji akan memberikan hadiah jika aku bertingkah laku manis.

Aku tak terpikat dengan iming-iming hadiah, bagiku tak ada yang lebih menenangkan dan memberi rasa aman selain wajah ayah di jendela. Aku jadi parno dan tak bisa berkonsentrasi terhadap pelajaran, karena terus-menerus melirik jendela hingga leherku pegal dan mataku buram.

ayah dan putri 3Dengan berat hati ayah menyaksikan aku dihukum berdiri di depan kelas karena tak kunjung bisa menghafal abjad apalagi mengeja. Bagiku semua terasa blur dan tak berarti kecuali kehadiran ayah.

Ayah hanya bisa menatapku dengan tatapan bingung dan iba, saat aku dan Budi temanku asyik mencoreng muka masing-masing dengan kapur tulis di depan kelas.

Kami berdua nampak senang-senang saja walau tengah dihukum. Mukaku putih penuh coretan kapur.

Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu ayah agar putri kecilnya mandiri pun tiba.

Suatu hari aku melihat ayah pulang dengan membawa banyak buku. Ada yang sampulnya berwarna-warni seperti pelangi, indah sekali. Ayah lalu membacakannya untukku. Ayah hanya membacakan setengah dari isi buku itu. Aku harus membaca sendiri sisanya.

Bagaimana mau membacanya, abjad saja aku lupa-lupa ingat! Aku tak pernah peduli apa yang diteriakkan Bu Kus setiap hari di sekolah. Aku cuma ingin bermain dan berjalan-jalan bersama ayah, aku tak mau peduli yang lainnya.

Tapi karena penasaran dengan kelanjutan cerita dari buku itu, aku mulai berusaha keras memeras otakku yang tak pernah mau pusing. Segala macam kertas yang terlihat ada tulisannya kueja keras-keras, dibantu oleh ayah. Dari penyedap masakan a-je-i- ji, aji… en-o-no… em-o mo… te-o-to… nomoto, Ajinomoto, hingga merk pembalut yang dipakai kakak, semua kueja dengan bersemangat. Aku juga berusaha agar bisa membaca lebih cepat.

Pernah saat pulang dari rumah teman dan terlalu lama membaca tulisan di depan sebuah rumah yang pagarnya terbuka, aku digonggongi dan nyaris digigit anjing. Ternyata tulisannya: awas anjing galak! Aku lari terbirit-birit dikejar si anjing hingga yang empunya rumah memanggil dan memarahi anjingnya.

Ayah tertawa saat aku pulang dengan muka merah dan keringat bercucuran karena dikejar anjing. Beliau lalu menceramahiku agar rajin belajar membaca. Setiap aku selesai belajar, beliau memberiku permen berwarna-warni buatannya sendiri.

Karena bekerja di pabrik permen, ayah pandai membuat permen sendiri. Beliau melarang kami membeli permen di warung, katanya tak sehat. Aku tambah bersemangat belajar membaca sambil sibuk mengulum permen.

Ternyata aku yang lemot bisa lancar membaca lebih cepat dari teman-teman sekelasku. Saking asyiknya membaca buku-buku pelajaran ataupun pamer mengajari teman-temanku yang belum lancar membaca, aku jadi tak terlalu berkonsentrasi ke arah jendela lagi. Ayah bisa pulang setelah mengantarku sekolah tanpa ada insiden raungan sirene keluar dari tenggorokanku.

Ayah adalah motivator hingga aku bisa dan suka membaca. Beliau lebih sering membelikanku buku, bukannya baju. Setelah ayah tiada aku sering pulang sambil menangis saat melihat teman-temanku digandeng ayah mereka saat hari pengambilan rapor.

Untukku ayah tak pernah tergantikan, walau aku sering berkelana mencari ayah baru untukku dan ibuku. Aku punya banyak perbandingan, tapi tak pernah ingin membandingkan. Walau memiliki banyak kekurangan, ayahku yang terbaik. Ayahku adalah ayah terhebat sedunia.

“…Anganku melayang, aku rindu cerita ayah tentang bintang. Apakah dirimu disana, menungguku? Kita duduk berdua, aku bersandar pada tubuhmu. Kita bercengkerama sambil menatap langit. Aku dan kepingan memoriku menolak melepaskanmu. Selamat ulang tahun, Ayah.

 Aku yang merindukanmu….”

Jakarta, Januari 2010

Yudiweb.

yudiweb.wordpress.com

Pos ini dipublikasikan di Kisah Inspiratif. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar